Memasuki empat bulan pertama tahun 2025, industri properti Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik untuk dianalisis. Meskipun berbagai prediksi optimistis tentang kebangkitan sektor properti pasca tahun politik 2024, realita di lapangan menunjukkan bahwa sektor ini masih berada dalam fase konsolidasi dan belum mencapai momentum booming yang diharapkan. Sejumlah faktor ekonomi, sosial, dan kebijakan telah membentuk lanskap properti yang kompleks dan penuh tantangan. Artikel ini akan mengupas secara komprehensif berbagai aspek yang menghambat tercapainya titik booming properti Indonesia pada 2025.
Kondisi Makroekonomi yang Menantang
Salah satu faktor utama yang menghambat booming properti di Indonesia pada 2025 adalah kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya stabil. Laporan dari Colliers Indonesia menunjukkan adanya kekhawatiran terkait perang dagang internasional yang berpotensi memberikan tekanan pada ekonomi Indonesia. Head of Research Colliers Indonesia, Ferry Salanto, menegaskan bahwa meskipun perang dagang tidak berdampak langsung pada sektor properti, namun perlambatan ekonomi akibat berkurangnya ekspor akan memengaruhi perekonomian nasional secara keseluruhan.
Ketidakstabilan Ekonomi Global dan Dampaknya
Ketidakpastian ekonomi global ini membuat para investor properti dan pengembang cenderung berhati-hati dalam mengambil keputusan ekspansi. Implikasinya terlihat jelas pada sektor perkantoran yang mencatatkan sedikit permintaan di tiga bulan pertama 2025 dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024. Lansekap ekonomi yang tidak pasti ini juga menyebabkan banyak penyewa ragu untuk berkomitmen jangka panjang dalam menyewa ruang kantor.
Inflasi dan Suku Bunga
Bank Indonesia per April 2025 masih mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada level 5,75%. Tingkat suku bunga ini menjadi acuan bagi bank-bank komersial dalam menentukan suku bunga kredit, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Meskipun tidak setinggi era pandemi, suku bunga yang relatif stabil ini belum cukup rendah untuk mendorong lonjakan permintaan kredit properti yang signifikan.
Bank-bank besar seperti Mandiri menawarkan suku bunga KPR bervariasi mulai dari 2,60% (fixed 1 tahun) hingga 9,66% tergantung pada tenor dan jangka waktu tetap. Kondisi ini membuat masyarakat, terutama kelas menengah, masih berhitung ketat sebelum memutuskan untuk mengambil KPR, mengingat ketidakpastian ekonomi jangka panjang.
Tantangan di Berbagai Segmen Properti
Sektor perkantoran pada kuartal pertama 2025 masih mencatatkan permintaan yang rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan kondisi ketidakstabilan situasi ekonomi, pemulihan untuk sektor ini masih terus tertekan meskipun ada potensi membaik dengan pertumbuhan moderat. Situasi ini membuat pemilik properti perkantoran harus berhati-hati dalam menerapkan strategi biaya sewa, terutama untuk gedung-gedung yang kesulitan mencapai tingkat okupansi yang sehat.
Kinerja Segmen Perkantoran yang Tertekan
Tren work from home dan hybrid working yang masih bertahan pasca pandemi juga turut berkontribusi pada rendahnya permintaan ruang perkantoran konvensional. Banyak perusahaan masih mempertahankan kebijakan kerja fleksibel yang mengurangi kebutuhan akan ruang fisik yang luas.
Segmen Apartemen yang Stagnan
Untuk sektor apartemen di Jakarta, meskipun masih didukung oleh insentif pemerintah berupa pembebasan PPN 100 persen untuk paruh pertama tahun 2025 dan 50 persen di semester kedua, kinerja penjualan belum mengalami perubahan signifikan. Hal ini terjadi karena dampak insentif di sektor apartemen tidak terlalu berpengaruh pada penjualan dibandingkan rumah tapak.
Colliers memperkirakan dinamika ini akan berlanjut sepanjang tahun 2025, dengan para pengembang lebih fokus pada penyelesaian proyek yang ada dan menghabiskan sisa stok lama daripada meluncurkan proyek baru. Strategi ini menunjukkan sikap wait-and-see dari para pengembang yang belum yakin dengan prospek pasar apartemen dalam jangka pendek.
Daya Beli Masyarakat yang Belum Pulih Sepenuhnya
Sektor ritel ditandai oleh pemilik toko yang berhati-hati dalam ekspansi karena menurunnya daya beli, khususnya di segmen menengah bawah yang belum stabil. Meskipun mal terus berkembang dengan penyewa baru yang fokus pada segmen rekreasi dan hiburan, pengalaman digital interaktif, dan konsep kuliner yang beragam, tantangan daya beli masyarakat masih menjadi hambatan signifikan.
Penurunan daya beli ini berdampak langsung pada kemampuan masyarakat untuk berinvestasi di properti atau membeli rumah pertama mereka. Banyak calon pembeli yang menunda keputusan pembelian properti karena prioritas kebutuhan lain yang lebih mendesak.
Kebijakan Pemerintah dan Insentif yang Belum Optimal
Pemerintah berencana memperpanjang program insentif PPN 100% untuk pasar perumahan, yang awalnya akan berakhir pada Desember 2024, menjadi hingga 2025. Langkah ini diharapkan menjadi pendorong utama pertumbuhan penjualan properti di tahun 2025, terutama bagi pengembang properti yang porsi pendapatan terbesarnya berasal dari penjualan langsung, seperti BSDE, CTRA, dan SMRA.
Efektivitas Insentif PPN
Namun, efektivitas insentif PPN ini tampaknya belum maksimal, terutama untuk segmen apartemen yang lebih lambat merespons dibandingkan rumah tapak. Hal ini menunjukkan bahwa insentif fiskal saja tidak cukup untuk mendorong booming properti tanpa didukung oleh pemulihan ekonomi yang lebih komprehensif.
Efisiensi Anggaran Pemerintah
Sektor perhotelan di Jakarta diperkirakan mencapai titik terendahnya karena lambatnya aktivitas bisnis dan efek bulan Ramadan pada Maret 2025, yang membuat periode tersebut menjadi kinerja terendah sepanjang tahun. Untuk perhotelan di Bali, meskipun masih melayani dari segmen wisatawan rekreasi, juga terdampak oleh kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.
Efisiensi anggaran pemerintah ini berdampak pada berkurangnya kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) yang biasanya menjadi penopang okupansi hotel di kota-kota besar. Penurunan aktivitas ini memberi efek berantai pada sektor properti komersial secara keseluruhan.
Tren Positif yang Belum Cukup Mendorong Booming
Salah satu tren yang diprediksi akan booming di tahun 2025 adalah konsep hunian ramah lingkungan atau green living. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan semakin tinggi, sehingga properti dengan konsep eco-friendly, seperti penggunaan energi terbarukan, pengelolaan air hujan, hingga desain rumah yang hemat energi, semakin diminati1.
Hunian Ramah Lingkungan (Green Living)
Namun, implementasi konsep green living ini masih terbatas pada segmen premium dan belum menjangkau pasar properti secara luas. Biaya pengembangan yang relatif lebih tinggi membuat harga jual properti ramah lingkungan juga lebih mahal, sehingga aksesibilitasnya masih terbatas untuk masyarakat umum.
Smart Home Technology
Teknologi pintar bukan lagi barang mewah, tapi sudah menjadi kebutuhan. Rumah-rumah baru akan semakin banyak yang dilengkapi sistem smart home, mulai dari pengaturan lampu, AC, hingga keamanan yang bisa diakses dari smartphone. Tren ini sejalan dengan perkembangan teknologi digital yang semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.
Meski demikian, adopsi teknologi smart home masih belum merata dan cenderung terfokus pada properti premium di kota-kota besar. Tantangan infrastruktur, kesenjangan digital, dan kesadaran konsumen masih menjadi hambatan bagi penetrasi yang lebih luas.
Co-living dan Co-working Space
Gaya hidup modern mendorong kebutuhan ruang kerja bersama di dekat tempat tinggal. Developer mulai mengembangkan konsep hunian dengan fasilitas co-working space, sehingga penghuni bisa bekerja nyaman tanpa perlu ke kantor. Tren ini sejalan dengan transformasi cara kerja pasca pandemi yang lebih fleksibel.
Meskipun konsep ini menarik, skalanya masih terbatas dan belum bisa mendorong pertumbuhan sektor properti secara keseluruhan. Permintaan co-living dan co-working space masih terpusat di area urban dengan konsentrasi profesional dan startup tinggi.
Peluang dan Prospek Jangka Panjang
Di tengah berbagai tantangan, sektor industrial masih menunjukkan peluang positif. Kondisi perang dagang internasional bisa memicu perusahaan multinasional untuk merelokasi pabrik dari China ke negara-negara dengan biaya yang lebih murah, termasuk Indonesia. Potensi ini menciptakan peluang yang lebih besar bagi sektor manufaktur, terutama dalam industri elektronik, tekstil, dan otomotif.
Kawasan industri terintegrasi yang dilengkapi dengan infrastruktur modern dan akses logistik yang baik berpotensi menjadi katalis pertumbuhan properti di sekitarnya, termasuk hunian bagi pekerja dan fasilitas komersial penunjang.
Kawasan Pinggiran Kota yang Potensial
Kenaikan harga properti di pusat kota membuat banyak orang mulai melirik kawasan pinggiran. Selama akses transportasi memadai dan fasilitas lengkap, kawasan suburban akan semakin dilirik sebagai pilihan hunian ideal. Tren ini mendorong pengembangan township dan kawasan terpadu di pinggiran kota-kota besar.
Pengembangan infrastruktur transportasi massal seperti LRT, MRT, dan tol layang juga turut mendorong pertumbuhan properti di kawasan pinggiran. Namun, realisasi penuh potensi ini masih membutuhkan waktu dan investasi infrastruktur yang lebih masif.
Tren Properti Tahun Ini
Secara keseluruhan, meskipun ada beberapa tren positif dan inisiatif pendukung dari pemerintah, sektor properti Indonesia pada tahun 2025 belum mencapai titik booming karena menghadapi berbagai tantangan fundamental. Ketidakstabilan ekonomi global, penurunan daya beli masyarakat, suku bunga yang belum cukup rendah, serta strategi wait-and-see dari pengembang menjadi faktor-faktor utama yang menghambat lonjakan signifikan di pasar properti.
Para pemangku kepentingan di industri properti perlu mengadopsi strategi yang lebih adaptif dan inovatif untuk menavigasi lanskap yang menantang ini. Diversifikasi produk, pengembangan konsep hunian yang sesuai dengan perubahan gaya hidup pasca pandemi, serta inovasi dalam skema pembiayaan menjadi kunci dalam membangun resiliensi di tengah ketidakpastian.
Pada akhirnya, prinsip “jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang” sangat relevan untuk diterapkan bagi pelaku industri properti Indonesia di tahun 2025. Pemulihan sektor properti membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan sinergi antara pemerintah, pengembang, lembaga keuangan, dan konsumen untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pertumbuhan berkelanjutan.